Rabu, 07 November 2012

9 (Sembilan)


            Malam ini telah menjadi malam yang panjang untuk ku lalui. Jam dinding berdetak dengan lambannya. Sang surya seakan enggan menampakkan sinar kehidupannya lagi. Burung-burung cantik pun enggan beranjak dari sarang tempat ia berlindung. Hari ini memang terasa berat tanpa kehadiran semuanya.
            Aku terbaring lemah di tempat tidurku pada kamar 149. Satu detik seakan menjadi saju jam yang sangat melelahkan untuk ku jalani. Aku benar-benar bosan dan sudah muak dengan ruangan berukuran 3 x 4 meter yang bau obat-obatan ini. Rasanya aku lebih baik mati daripada harus terus berada dalam ruangan yang telah mengurungku selama satu bulan terakhir ini.
            Semua ini memang melelahkan. Aku divonis terkena penyakit kanker darah oleh dokter. Penyakit yang akan membawaku pada kematian. Penyakit yang membawaku pada bunda dan Rabb-ku. Bunda juga meninggal akibat penyakit kanker darah yang menggerogoti kekebalan tubuhnya.
            Terkadang aku merasa bahwa kematian bunda adalah kesalahan ayah. Karena ayah selalu memikirkan pekerjaannya daripada keluarganya. Ayah juga selalu pulang pergi ke luar negeri untuk menyelesaikan proyek kesayangannya. Dan sekarang, entah ayah ada di mana. Mungkin sedang menyelesaikan proyek besarnya di Amerika, Singapura, Jepang, Jerman, dan atau mungkin ayah sudah menikah lagi dengan perempuan lain. Entahlah, aku tak pernah tahu akan hal itu. Yang ku tahu hanyalah tentang pengiriman uang yang ayah lakukan padaku setiap bulannya.
            Kesedihanku pun bertambah dengan kematian kakakku tiga bulan setelah meninggalnya bunda. Semua ini memang terjadi begitu saja. Dengan cepatnya semua penderitaan datang padaku. Dimulai dari menginggalnya bunda dan kakak, ayah pergi dan sekarang aku sakit. Sakit yang mungkin tak pernah bisa disembuhkan.
***
Seorang wanita yang pintar, super aktif, dan supel itu pun lumpuh seketika, ketika ia mengetahui bahwa dirinya mengidap penyakit kanker darah dan harus terus terbaring di tempat tidur rumah sakit. Itulah aku, Putri Bintang Anindita.
            Dua bulan yang akan datang tepatnya 9 September adalah hari ulang tahunku. Aku mempunyai keinginan pada saat hari ulang tahunku nanti, yaitu bertemu ayah dan mendapat ucapan selamat ulang tahun darinya. Ya, meskipun itu terdengar mustahil, tapi itulah keinginanku.
            Dulu setiap hari ulang tahunku, Ayah dan Bunda selalu berkata, “Jadilah engkau seperti bintang di langit yang selalu menghiasi malam gelap, yang takkan pernah meredup hanya karena tertutup awan hitam yang kelam. Berusahalah untuk menembus awan hitam itu dengan cahaya yang kau miliki, agar kau dapat menembus cakrawala dan terus bercahaya.” Kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Aku tak pernah bisa melupakan kalimat itu. Kalimat yang tak pernah lupa terucap dari bibir ayah dan bunda pada hari ulang tahunku. Dan aku ingin mereka mengucapkannya lagi untukku pada hari ulang tahunku nanti.
***
            Hari- hariku kini aku lewati bersama seorang sahabat. Dia bernama Revita. Dia adalah satu-satnya orang yang setia menemaniku. Dia begitu baik, mengerti, dan begitu memahami apa yang aku rasakan. Dia adalah sahabat yang tak pernah membuatku bersedih, ia selalu membuatku tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak. Karena menurut definisinya, suatu penyakit terutama kanker darah akan sembuh oleh tertawa, ya, setidaknya dapat menahan kematian. Itulah definisi seorang Revita, sahabatku. Dan kalau aku diperbolehkan untuk berkomentar, menurutku itu sangatlah konyol.
            Semenjak kematian bundaku, Revita-lah yang selalu menghiburku. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menghiburku. Dia telah menutup lubang di dalam hatiku dengan sejuta lelucon yang ia miliki. Dan dia telah mengisi ruang hatiku yang hampa karena kepergian bunda. Semua itu sangatlah berarti ketika dia berada di sisiku.
            Entah apa yang harus ku lakukan untuk membalas semua kebaikan Revita. Nampaknya, aku takkan pernah sanggup untuk membalas semua yang telah ia lakukan padaku. Terutama, semenjak aku sakit. Dia yang telah menemaniku, menyuapiku, dan menghiburku. Semuanya telah ia lakukan padaku. Ia telah mengorbankan waktu kuliahnya untuk menemaniku. Padahal aku tahu, ia tak ingin sama sekali menunda kuliahnya. Tapi ia melakukannya untukku. Mungkin di dunia ini, aku termasuk orang yang beruntung, karena aku telah mendapatkan seorang sahabat seperti Revita.
            Ketika aku mulai berputus asa akan keadaanku yang seperti ini, Revita selalu berkata, “Hidup adalah sebuah pilihan dan hidup adalah sebuah perjuangan”. Terdengar klise memang, tapi kalimat itu selalu membuatku bangkit dari keterpurukanku. Dia seakan memberikan sebuah harapan agar aku dapat bertahan dari penyakit yang menggerogoti tubuhku saat ini dan secara tidak langsung, dia telah menyuruhku agar aku berjuang untuk melawan penyakitku. Kalimat itu sungguh luar biasa. Kalimat kedua terhebat dan terindah yang pernah aku dengar di dunia ini, setelah kalimat yang selalu diucapkan ayah dan bunda pada setiap hari ulang tahunku.
***
            Pada awal September kondisiku semakin melemah. Aku sempat mengalami koma selama tiga hari. Revita mulai panik. Dan ia berusaha menghubungi ayahku, tetapi sering kali gagal.
            7 September 2009.
Revita sudah kehabisan akal untuk membuatku tertawa, bahkan tersenyum pun sering kali gagal dia lakukan selama tiga hari terakhir. Entah apa yang membuatku seperti itu. Seakan ada yang menahanku untuk tersenyum. Mereka selalu menghantuiku agar aku merasa ketakutan akan hidup yang kini ku jalani. Mereka sungguh jahat.
            Hari itu penuh dengan ketakutan yang memenuhi pikiranku. Mereka seakan sengaja memasukanku pada pintu kebimbangan. Hari itu aku ditakutkan dengan kematian yang mengerikan. Entah kenapa, aku tiba-tiba takut akan hal itu. Karena aku meresa seperti ada yang mendorongku dari gedung pencakar langit dan mendarat dengan sempurna. Tubuhku hancur, tulang-tulangku patah dan remuk, dan juga darah yang terus mengalir tanpa henti, itu sangat mengejutkan dan sekaligus membuatku sangat ketakutan. Saat aku terjaga, aku merasa lebih ketakutan. Merasa tidak percaya akan mimpi yang telah ku alami. Apakah kematianku akan seburuk dan setragis itu? Semua itu seperti nyata. Mimpi itu sempat membelengguku selama hampir empat hari dan sampai akhirnya aku bisa melepaskan semua mimpi itu.
            Semua yang terjadi padaku hari itu, tak membuat kondisi tubuhku tetap stabil. Setelah terjaga dari tidur panjangku, aku mulai merasakan sesak nafas yang luar bisa, detak jantung yang semakin melemah membuatku hampir berputus asa untuk hidup. Sebenarnya tim dokter yang menanganiku saat itu sudah angkat tangan. Mereka bilang mereka sudah tak sanggup menanganiku. Kau tahu apa yang dikatakan Revita saat dokter berkata seperti itu? Dia berkata, “Jangan pernah ingin jadi dokter kalau kalian tak bisa menahan temanku untuk hidup lebih lama dari ini. Ini baru merupakan sebuah awal dari perjalanan kalian untuk menyelamatkan Putri. Kenapa kalian sudah menyerah? Dia sahabatku, dia berkata padaku bahwa dia ingin sembuh dan dia tak ingin mati sia-sia karena telah mengeluarkan banyak uang untuk membayar kalian. Jadi kalian harus berusaha ………..”. Aku mendengar semua perbincangan mereka. Rasanya aku ingin berteriak mendengar mereka berbincang-bincang seperti itu. Aku tahu, Revita sangat menyayangiku, tapi aku rasa dia sedikit keterlaluan dan berlebihan. Sebenarnya yang aku harapkan adalah mendengar perbincangan antara Revita dan dokter dengan suara yang datar. Revita sebenarnya tak perlu membelaku sampai seperti itu, karena perbincangan itu aku rasa akan membuat hati dokter itu seperti ditusuk jarum.
            8 September 2009.
Revita berhasil menghubungi ayahku. Dan dia berhasil membujuk ayah datang ke Jakarta untuk menjengukku. Aku rasa perjuangannya akhir-akhir ini untuk menghubungi ayah cukup melelahkan. Karena ayah memang sulit dihubungi, oleh karena itu aku putus asa dan sampai sekarang aku tak pernah lagi menghubungi ayah.
            9 September 2009.
Umurku genap 19 tahun. Tiba-tiba aku mendengar ada seseorang yang yang berlari menuju kamarku. Lalu ia membuka pintu kamarku. Ia datang dengan membawa seikat bunga mawar putih di tangannya. Sosoknya sudah tak asing lagi di mataku. Ayah. Dia datang pada hari ulang tahunku. Dia tersenyum dan memelukku. Ia duduk di tempat tidurku dan mengecup keningku seraya memberikan bunga yang dibawanya untukku.
            Tiba-tiba sosok seorang wanita cantik berbaju putih dan bercahaya muncul dihadapanku. Ia duduk di tempat tidurku, tepat disebrang ayahku duduk. Ia tersenyum. Ia terlihat begitu manis dan begitu cantik. Itu Bunda.
            Pada saat yang bersamaan ayah dan bunda berkata padaku, “ Selamat ulang tahun Putri… Jadilah engkau seperti bintang di langit yang selalu menghiasi malam gelap, yang takkan pernah meredup hanya karena tertutup awan hitam yang kelam. Berusahalah untuk menembus awan hitam itu dengan cahaya yang kau miliki, agar kau dapat menembus cakrawala dan terus bercahaya.” Aku tersenyum. Senang rasanya mendengar kalimat itu lagi. Setelah itu Bunda berkata, “Ikutlah denganku, Putri. Pejamkanlah matamu!” Aku mengikuti keinginan Bunda. Ini adalah saatnya aku pergi meninggalkan dunia dan juga ayah. Aku telah dijemput Bunda untuk bersama-sama menghadap Rabb-kami. Kematianku begitu indah dan begitu nyata. Mungkin takdirku adalah “hari kelahiranku adalah hari kematianku”. Penderitaanku berakhir di sini. Dan terima kasih untuk Revita yang telah mengabulkan keinginanku untuk membawa ayah.
            “ Kini aku akan menjadi bintang di langit yang akan selalu berusaha menembus awan hitam dengan cahaya yang ku miliki, agar ku dapat menembus cakrawala dan terus bercahaya seperti yang kalian inginkan…”




October, 24th 2010
-SOFIYA-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar