Malam ini telah menjadi malam yang
panjang untuk ku lalui. Jam dinding berdetak dengan lambannya. Sang surya seakan
enggan menampakkan sinar kehidupannya lagi. Burung-burung cantik pun enggan beranjak
dari sarang tempat ia berlindung. Hari ini memang terasa berat tanpa kehadiran
semuanya.
Aku terbaring lemah di tempat
tidurku pada kamar 149. Satu detik seakan menjadi saju jam yang sangat
melelahkan untuk ku jalani. Aku benar-benar bosan dan sudah muak dengan ruangan
berukuran 3 x 4 meter yang bau obat-obatan ini. Rasanya aku lebih baik mati
daripada harus terus berada dalam ruangan yang telah mengurungku selama satu
bulan terakhir ini.
Semua ini memang melelahkan. Aku
divonis terkena penyakit kanker darah oleh dokter. Penyakit yang akan membawaku
pada kematian. Penyakit yang membawaku pada bunda dan Rabb-ku. Bunda juga
meninggal akibat penyakit kanker darah yang menggerogoti kekebalan tubuhnya.
Terkadang aku merasa bahwa kematian
bunda adalah kesalahan ayah. Karena ayah selalu memikirkan pekerjaannya
daripada keluarganya. Ayah juga selalu pulang pergi ke luar negeri untuk menyelesaikan
proyek kesayangannya. Dan sekarang, entah ayah ada di mana. Mungkin sedang
menyelesaikan proyek besarnya di Amerika, Singapura, Jepang, Jerman, dan atau
mungkin ayah sudah menikah lagi dengan perempuan lain. Entahlah, aku tak pernah
tahu akan hal itu. Yang ku tahu hanyalah tentang pengiriman uang yang ayah
lakukan padaku setiap bulannya.
Kesedihanku pun bertambah dengan
kematian kakakku tiga bulan setelah meninggalnya bunda. Semua ini memang
terjadi begitu saja. Dengan cepatnya semua penderitaan datang padaku. Dimulai
dari menginggalnya bunda dan kakak, ayah pergi dan sekarang aku sakit. Sakit
yang mungkin tak pernah bisa disembuhkan.
***
Seorang wanita yang pintar, super aktif, dan supel itu
pun lumpuh seketika, ketika ia mengetahui bahwa dirinya mengidap penyakit
kanker darah dan harus terus terbaring di tempat tidur rumah sakit. Itulah aku,
Putri Bintang Anindita.
Dua bulan yang akan datang tepatnya
9 September adalah hari ulang tahunku. Aku mempunyai keinginan pada saat hari
ulang tahunku nanti, yaitu bertemu ayah dan mendapat ucapan selamat ulang tahun
darinya. Ya, meskipun itu terdengar mustahil, tapi itulah keinginanku.
Dulu setiap hari ulang tahunku, Ayah
dan Bunda selalu berkata, “Jadilah engkau seperti bintang di langit yang selalu
menghiasi malam gelap, yang takkan pernah meredup hanya karena tertutup awan
hitam yang kelam. Berusahalah untuk menembus awan hitam itu dengan cahaya yang
kau miliki, agar kau dapat menembus cakrawala dan terus bercahaya.” Kalimat itu
selalu terngiang di telingaku. Aku tak pernah bisa melupakan kalimat itu.
Kalimat yang tak pernah lupa terucap dari bibir ayah dan bunda pada hari ulang
tahunku. Dan aku ingin mereka mengucapkannya lagi untukku pada hari ulang tahunku
nanti.
***
Hari- hariku kini aku lewati bersama
seorang sahabat. Dia bernama Revita. Dia adalah satu-satnya orang yang setia
menemaniku. Dia begitu baik, mengerti, dan begitu memahami apa yang aku
rasakan. Dia adalah sahabat yang tak pernah membuatku bersedih, ia selalu membuatku
tersenyum bahkan tertawa terbahak-bahak. Karena menurut definisinya, suatu
penyakit terutama kanker darah akan sembuh oleh tertawa, ya, setidaknya dapat
menahan kematian. Itulah definisi seorang Revita, sahabatku. Dan kalau aku
diperbolehkan untuk berkomentar, menurutku itu sangatlah konyol.
Semenjak kematian bundaku, Revita-lah
yang selalu menghiburku. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menghiburku.
Dia telah menutup lubang di dalam hatiku dengan sejuta lelucon yang ia miliki.
Dan dia telah mengisi ruang hatiku yang hampa karena kepergian bunda. Semua itu
sangatlah berarti ketika dia berada di sisiku.
Entah apa yang harus ku lakukan
untuk membalas semua kebaikan Revita. Nampaknya, aku takkan pernah sanggup
untuk membalas semua yang telah ia lakukan padaku. Terutama, semenjak aku
sakit. Dia yang telah menemaniku, menyuapiku, dan menghiburku. Semuanya telah
ia lakukan padaku. Ia telah mengorbankan waktu kuliahnya untuk menemaniku. Padahal
aku tahu, ia tak ingin sama sekali menunda kuliahnya. Tapi ia melakukannya
untukku. Mungkin di dunia ini, aku termasuk orang yang beruntung, karena aku
telah mendapatkan seorang sahabat seperti Revita.
Ketika aku mulai berputus asa akan
keadaanku yang seperti ini, Revita selalu berkata, “Hidup adalah sebuah pilihan
dan hidup adalah sebuah perjuangan”. Terdengar klise memang, tapi kalimat itu
selalu membuatku bangkit dari keterpurukanku. Dia seakan memberikan sebuah
harapan agar aku dapat bertahan dari penyakit yang menggerogoti tubuhku saat
ini dan secara tidak langsung, dia telah menyuruhku agar aku berjuang untuk melawan
penyakitku. Kalimat itu sungguh luar biasa. Kalimat kedua terhebat dan terindah
yang pernah aku dengar di dunia ini, setelah kalimat yang selalu diucapkan ayah
dan bunda pada setiap hari ulang tahunku.
***
Pada awal September kondisiku
semakin melemah. Aku sempat mengalami koma selama tiga hari. Revita mulai
panik. Dan ia berusaha menghubungi ayahku, tetapi sering kali gagal.
7 September 2009.
Revita sudah kehabisan akal untuk membuatku tertawa,
bahkan tersenyum pun sering kali gagal dia lakukan selama tiga hari terakhir.
Entah apa yang membuatku seperti itu. Seakan ada yang menahanku untuk
tersenyum. Mereka selalu menghantuiku agar aku merasa ketakutan akan hidup yang
kini ku jalani. Mereka sungguh jahat.
Hari itu penuh dengan ketakutan yang
memenuhi pikiranku. Mereka seakan sengaja memasukanku pada pintu kebimbangan.
Hari itu aku ditakutkan dengan kematian yang mengerikan. Entah kenapa, aku
tiba-tiba takut akan hal itu. Karena aku meresa seperti ada yang mendorongku
dari gedung pencakar langit dan mendarat dengan sempurna. Tubuhku hancur,
tulang-tulangku patah dan remuk, dan juga darah yang terus mengalir tanpa
henti, itu sangat mengejutkan dan sekaligus membuatku sangat ketakutan. Saat
aku terjaga, aku merasa lebih ketakutan. Merasa tidak percaya akan mimpi yang
telah ku alami. Apakah kematianku akan seburuk dan setragis itu? Semua itu
seperti nyata. Mimpi itu sempat membelengguku selama hampir empat hari dan
sampai akhirnya aku bisa melepaskan semua mimpi itu.
Semua yang terjadi padaku hari itu,
tak membuat kondisi tubuhku tetap stabil. Setelah terjaga dari tidur panjangku,
aku mulai merasakan sesak nafas yang luar bisa, detak jantung yang semakin
melemah membuatku hampir berputus asa untuk hidup. Sebenarnya tim dokter yang
menanganiku saat itu sudah angkat tangan. Mereka bilang mereka sudah tak
sanggup menanganiku. Kau tahu apa yang dikatakan Revita saat dokter berkata
seperti itu? Dia berkata, “Jangan pernah ingin jadi dokter kalau kalian tak
bisa menahan temanku untuk hidup lebih lama dari ini. Ini baru merupakan sebuah
awal dari perjalanan kalian untuk menyelamatkan Putri. Kenapa kalian sudah
menyerah? Dia sahabatku, dia berkata padaku bahwa dia ingin sembuh dan dia tak
ingin mati sia-sia karena telah mengeluarkan banyak uang untuk membayar kalian.
Jadi kalian harus berusaha ………..”. Aku mendengar semua perbincangan mereka. Rasanya
aku ingin berteriak mendengar mereka berbincang-bincang seperti itu. Aku tahu,
Revita sangat menyayangiku, tapi aku rasa dia sedikit keterlaluan dan
berlebihan. Sebenarnya yang aku harapkan adalah mendengar perbincangan antara
Revita dan dokter dengan suara yang datar. Revita sebenarnya tak perlu
membelaku sampai seperti itu, karena perbincangan itu aku rasa akan membuat
hati dokter itu seperti ditusuk jarum.
8 September 2009.
Revita berhasil menghubungi ayahku. Dan dia berhasil
membujuk ayah datang ke Jakarta untuk menjengukku. Aku rasa perjuangannya
akhir-akhir ini untuk menghubungi ayah cukup melelahkan. Karena ayah memang
sulit dihubungi, oleh karena itu aku putus asa dan sampai sekarang aku tak
pernah lagi menghubungi ayah.
9 September 2009.
Umurku genap 19 tahun. Tiba-tiba aku mendengar ada
seseorang yang yang berlari menuju kamarku. Lalu ia membuka pintu kamarku. Ia
datang dengan membawa seikat bunga mawar putih di tangannya. Sosoknya sudah tak
asing lagi di mataku. Ayah. Dia datang pada hari ulang tahunku. Dia tersenyum
dan memelukku. Ia duduk di tempat tidurku dan mengecup keningku seraya
memberikan bunga yang dibawanya untukku.
Tiba-tiba sosok seorang wanita cantik
berbaju putih dan bercahaya muncul dihadapanku. Ia duduk di tempat tidurku,
tepat disebrang ayahku duduk. Ia tersenyum. Ia terlihat begitu manis dan begitu
cantik. Itu Bunda.
Pada saat yang bersamaan ayah dan
bunda berkata padaku, “ Selamat ulang tahun Putri… Jadilah engkau seperti
bintang di langit yang selalu menghiasi malam gelap, yang takkan pernah meredup
hanya karena tertutup awan hitam yang kelam. Berusahalah untuk menembus awan
hitam itu dengan cahaya yang kau miliki, agar kau dapat menembus cakrawala dan
terus bercahaya.” Aku tersenyum. Senang rasanya mendengar kalimat itu lagi.
Setelah itu Bunda berkata, “Ikutlah denganku, Putri. Pejamkanlah matamu!” Aku
mengikuti keinginan Bunda. Ini adalah saatnya aku pergi meninggalkan dunia dan
juga ayah. Aku telah dijemput Bunda untuk bersama-sama menghadap Rabb-kami. Kematianku
begitu indah dan begitu nyata. Mungkin takdirku adalah “hari kelahiranku adalah
hari kematianku”. Penderitaanku berakhir di sini. Dan terima kasih untuk Revita
yang telah mengabulkan keinginanku untuk membawa ayah.
“ Kini aku akan menjadi bintang di
langit yang akan selalu berusaha menembus awan hitam dengan cahaya yang ku
miliki, agar ku dapat menembus cakrawala dan terus bercahaya seperti yang
kalian inginkan…”
October, 24th 2010
-SOFIYA-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar